LATAR BELAKANG
Indonesia mempunyai luas hutan yang menempati urutan ke tiga dunia setelah Brasil dan Zaire. Luas hutan Indonesia kini diperkirakan mencapai 120,35 juta ha, atau 63 persen luas daratan (Herdiman, 2003). Hutan dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu merupakan salah satu sumber daya alam yang penting bagi Indonesia. Dengan sumber yang cukup tinggi bagi pendapatan ekspor, lapangan kerja, serta sumber pendapatan masyarakat lokal, namun demikian saat ini semakin terancam akibat sering terjadinya kebakaran hutan dari tahun ke tahun. Kebakaran hutan merupakan salah satu sebab degradasi hutan dan terbukti menimbulkan dampak merugikan di bidang kesehatan dan bidang-bidang lainnya, dan pada berbagai aspek baik ekonomi, ekologi, maupun sosial. serta berskala lokal, nasional, internasional, regional, dan global.
Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk mencermati kasus kebakaran hutan di Indonesia yang terjadi dari tahun 1998-2005, mencakup tingkat kebakaran hutan yang terjadi, penyebab kebakaran hutan, dampak terhadap kesehatan (berbagai macam penyakit yang ditimbulkan) dan pengendalian/pengatasan masalah kebakaran hutan dalam kontek pembangunan kehutanan berkelanjutan di Indonesia. Kasus kebakaran hutan yang besar di Indonesia dimulai sejak 1980 an, ketika industri perkebunan mulai menggeliat dan mulai mempraktekkan budaya tebang, imas dan bakar.
Kebakaran hutan dalam skala besar merupakan salah satu sebab degradasi hutan dan terbukti menimbulkan kerusakan dan kerugian baik pada aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial, dan dapat dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung bagi ekosistem kontribusinya terhadap peningkatan emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati, dan juga bagi kesehatan manusia.
Penyebab kebakaran hutan di Indonesia bersumber pada kebijakan pengelolaan hutan, lemahnya peraturan perundangan dan penegakan aturan yang ada, dan ekanisme sistem/kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan. Bahwa api tidak bisa sepenuhnya dihilangkan dari ekosistem hutan, beberapa tipe vegetasi hutan merupakan klimaks api. Pengurangan resiko kebakaran hutan dapat ditempuh dengan mempertimbanglkan kearifan lokal dari masyarakat tradisional.
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah, salah satunya adalah dari kekayaan hutan yang merupakan sandaran hidup bagi sekitar 60 juta rakyat yang bermukim di dan sekitar hutan. Selain manfaat ekonomi, hutan pun memiliki fungsi ekologis yang penting bagi kehidupan (Minangsari, dkk., 2005).
Pembangunan kehutanan di Indonesia telah bergeser dari paradigma management forestry menuju social forestry. Pergeseran paradigma pembangunan kehutanan yang terjadi di Idonesia tidak telepas dari kesepakatan internasional dalam Konferensi Tingkat Tinggi Dunia mengenai pembangunan berkelan-jutan di Johanesburg tahun 2002 yang meninjau kembali dari konferensi PBB mengenai lingkungan dan Pembangunan di Rio De Janeiro 1992 (Ngadiono, 2004).
Dari 130 juta hektar luas tutupan hutan Indonesia, sekitar 72 % hutan asli Indonesia hilang dan dari sisa 28 % dari hutan asli tersebut ternyata 25 % atau sekitar 30 juta hektar dalam kondisi rusak parah. Pembangunan hutan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Hutan (GN-RHL) yang berjangka waktu lima tahun hanya mampu menyelamatkan 1,5 juta hektar, sementara itu kerusakan hutan dalam 5 tahun seluas 12 juta hektar sehingga 10,5 juta hektar terabaikan.
Belakangan ini kebakaran hutan menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi, khususnya setelah bencana El Nino (ENSO) 1997/98 yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia. Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati. Pencemaran kabut asap merupakan masalah berulang bahkan selama tahun-tahun ketika peristiwa ENSO di Indonesia dan negara-negara tetangganya tidak terjadi. Selama peristiwa ENSO 1997/98, Indonesia mengalami kebakaran hutan yang paling hebat di dunia. Masalah yang sama teruiang pada 2002. (Tacconi, 2003).
Hutan Indonesia memiliki berbagai species yang beraneka ragam, dan merupakan hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Namun kini telah mengalami degradasi yang luar biasa. Laporan FWI pada tahun 2002 menyatakan bahwa laju kerusakan hutan mencapai 1,7 juta hektar pertahun bahkan pada tahun 2003 Departemen Kehutanan mengatakan bahwa laju kerusakan hutan mencapai 3,4 juta hektar per tahun yang diakibatkan oleh berbagai sebab (Minangsari, dkk., 2005).
Pada tahun 1999 tercatat 101,79 juta ha (total 120,35 juta ha) hutan Indonesia dalam keadaan rusak. Laju deforestasi 1,6 juta ha /tahun (2000), 3.6 juta ha /tahun (2004) dan pada tahun 2005 laju deforestasi sebesar 3,8 juta ha /tahun (Kompas 5 Maret 2005). Dengan laju kerusakan seperti ini, berbagai pakar memprediksi bahwa hutan tropis dataran rendah di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan akan musnah dalam waktu sepuluh tahun. Bahkan Bank dunia memperkirakan bahwa hutan di Indonesia akan hilang dalam 10 – 15 tahun ke depan. Kehancuran tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain pengelolaan yang tidak berkelanjutan, illegal logging dan kebakaran hutan (Minangsari, dkk., 2005). Kebakaran hutan merupakan salah satu sebab degradasi hutan dan terbukti menimbulkan dampak merugikan di bidang kesehatan dan bidang-bidang lainnya, dan pada berbagai aspek baik ekonomi, ekologi, maupun sosial.
Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk kasus kebakaran hutan di Propinsi Riau yang terjadi dari tahun 1998-2005, mencakup tingkat kebakaran hutan yang terjadi, penyebab kebakaran hutan, mengungkapkan dampak kebakaran hutan terhadap kesehatan (mencakup berbagai macam penyakit yang ditimbulkannya) dan pengendalian/pengatasan masalah kebakaran hutan dalam kontek pembangunan kehutanan berkelanjutan di Indonesia.
BAB II
ISI
A. PENGELOLAAN HUTAN
Sejak tahun 1967 sampai tahun 2000 kebijakan pembangunan kehutanan tidak mampu memperbaiki kinerja pengelolaan hutan. Dalam dua puluh tahun terakhir, hutan alam Indonesia sebagai modal alam (natural capital) telah kehilangan lebih dari 50 % potensinya. Hal ini terlihat dari menurunnya target produksi kayu bulat nasional dari 37 juta m3 per tahun pada awal tahun 1980-an menjadi sebesar 22 juta m3 pada akhir tahun 2000. (Minangsari, dkk., 2005)
Pentingnya pengelolaan hutan berkelanjutan telah dinyatakan dengan jelas dalam PROPENAS yang menyatakan bahwa sasaran di bidang ini adalah :
1. Meningkatkan pengelolaan hutan marginal dan mengembangkan kehutanan sosial berbasis masyarakat,
2. Meningkatkan nilai sesungguhnya dari hutan, termasuk hasil hutan bukan kayu dan jasa-jasa kehutanan,
3. Meningkatkan peran hutan lindung dan hutan konservasi dalam ekonomi lokal,
4. Mengurangi pembalakan liar dan kebakaran hutan,
5. Meningkatkan status hutan dengan mengakui hak-hak masyarakat,
6. Merestrukturisasi sistem pengelolaan hutan,
7. Meningkatkan investasi dan peluang bisnis di sektor kehutanan,
8. Menyeimbangkan antara pemanfaatan dan konservasi,
9. Mengurangi konflik atas lahan, dan
B. Penyebab Kebakaran Hutan
Berdasarkan lokasi biomassa dan perilaku api, Ebert, 1988 mengelompokkan kebakaran hutan kedalam 4 (empat) tipe, yaitu: Ground Fire, Surface Fire, Crown Fire, Mass Fire, yang masing-masing mempunyai skala dampak yang berbeda. Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai risiko terkena dampak EL-NINO dan La-Nina. Dampak dari EL-NINO menimbulkan perubahan iklim, antara lain musim panas yang berkepanjangan sehingga menimbulkan kekeringan, dan pada akhirnya menjadi salah satu factor pencetus kejadian kebakaran hutan. Menkes-RI, 2003 menyebutkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia merupakan kasus yang berulang dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat kebakaran hutan terbesar di Indonesia terjadi pada tahun 1997, sekitar 3,5 juta hektar hutan di Kalimantan habis terbakar. Kebakaran ini disusul dengan kebakaran besar tahun 1998.
Applegate, G. dalam Cifor, 2001 mengatakan bahwa terdapat perbedaan pemahaman penyebab yang mendasari terjadinya kebakaran. Departemen Kehutanan, misalnya, menyalahkan para peladang berpindah sebagai penyebab kebakaran di Kalimantan. Di pihak lain, para pecinta lingkungan hidup menyebutkan bahwa kebakaran-kebakaran yang terjadi merupakan akibat pengelolaan hutan yang buruk. Kemudian pemerintah menyalahkan “suku-suku pengembara” yang melakukan perladangan berpindah atas kebakaran yang terjadi. Organisasi-organisasi lingkungan hidup menyalahkan perusahaan-perusahaan kayu dan perkebunan. Penelitian Cifor 2001, mengidentifikasi empat penyebab langsung dari kebakaran, dan enam kekuatan yang mendasari terjadinya kebakaran. Dikatakan bahwa identifikasi ini bukan penggolongan yang bersih dan berdiri sendiri, banyak penyebab kebakaran yang saling terkait erat satu sama lain.
1. Pembersihan lahan.
Api merupakan alat yang murah dan efektif untuk membersihkan lahan, dan disukai oleh usaha-usaha skala besar yang ingin memberikan material kayu berkualitas rendah untuk dapat menanam tanaman industri seperti karet dan kelapa sawit. Areal perkebunan kelapa sawit meningkat dari 120.000 hektar di tahun 1989 menjadi hampir 3 juta hektar di tahun 1999.
2. Kebakaran tak disengaja Kebakaran yang tak disengaja akibat api yang berkobar liar merupakan penyebab penting kedua.
3. Api sebagai senjata
Pembakaran menjadi faktor penting di pedesaan Indonesia di tahun-tahun terakhir. Para petani dan masyarakat lokal yang merasa diperlakukan tidak adil dengan hilangnya tanah mereka yang ‘diambil’ oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sekarang menggunakan api 10). Kekurang cukupan pencegahan kebakaran Seringkali, bahkan terlalu sering tidak ada lembaga yang kompeten untuk mencegah kebakaran secara tepat. (Cifor,2001).
C. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Kesehatan
Secara umum dampak kebakaran hutan terhadap lingkungan sangat luas, antara lain kerusakan ekologi, menurunnya keanekaragaman sumber daya hayati dan ekosistemnya, serta penurunan kualitas udara. Dampak kebakaran menyangkut berbagai aspek, baik fisik maupun non fisik, langsung maupun tidak langsung pada berbagai bidang maupun sektor, berskala lokal, nasional, regional, maupun global. Sebagian dapat disebutkan antara lain pada aspek kesehatan, penurunan kualitas lingkungan hidup (kesuburan lahan, biodiversitas, pencemaran udara, dst.), emisi GRK yang selanjutnya menimbulkan permanasan global dan perubahan iklim.
Syumanda, 2003 menyebutkan adanya 4 (empat) aspek yang terindentifikasi sebagai dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan adalah:
· Dampak Terhadap Sosial, Budaya dan Ekonomi
· Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan
· Dampak Terhadap Hubungan Antar negara
· Dampak terhadap Perhubungan dan Pariwisata
Hidayat, dkk., 2003 mengatakan bahwa akibat yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan tidak hanya berskala lokal, melainkan berskala nasional dan bahkan berskala regional. Asap yang timbul dari kebakaran hutan dan lahan dapat mengganggu negara tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia. Untuk itulah berbagai upaya baik pada tingkat nasional, regional maupun internasional sudah dilakukan guna menangatasi kebakaran hutan dan lahan.
Menteri Kesehatan RI, 2003 menyatakan bahwa kebakaran hutan menimbulkan polutan udara yang dapat menyebabkan penyakit dan membahayakan kesehatan manusia. Berbagai pencemar udara yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan, misalnya : debu dengan ukuran partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain.
Selain itu juga dapat menimbulkan gangguan jarak pandang/ penglihatan, sehingga dapat menganggu semua bentuk kegiatan di luar rumah. Gumpalan asap yang pedas akibat kebakaran yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998 meliputi wilayah Sumatra dan Kalimantan, juga Singapura dan sebagian dari Malaysia dan Thailand. Sekitar 75 juta orang terkena gangguan kesehatan yang disebabkan oleh asap. (Cifor,2001).
Gambut yang terbakar di Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir daripada yang dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu membuat Indonesia menjadi salah satu pencemar lingkungan terburuk di dunia pada periode tersebut (Applegate, G. dalam CIFOR, 2001).
Dampak kebakaran hutan 1997/98 bagi ekosistem direvisi karena perubahan perhitungan luas kebakaran yang ditemukan. Taconi, 2003 menyebutkan bahwa kebakaran yang mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar 1,62-2,7 miliar dolar. Biaya akibat pencemaran kabut asap sekitar 674-799 juta dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan biayanya mencapai 2,8 miliar dolar.
D. Strategi dan Pengendalian Kebakaran Hutan
Dalam skala nasional isyu kebakaran hutan mendapat perhatian dari pemerintah antara lain dengan adanya Brigade Kebakaran Hutan (Manggala Agni/GALAAG) dibawah kendali Ditjen PHKA-Dephut RI Pada tahun 1998, CIFOR, the International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dan the United States Forest Service, dengan tambahan dana dari Uni Eropa, memulai studi multi disiplin yang difokuskan pada delapan lokasi rentan kebakaran di Sumatra dan Kalimantan, untuk menentukan mengapa kebakaran bisa terjadi, siapa yang bertanggung jawab, bagaimana cara api menyebar dan jenis habitat mana yang paling berisiko (CIFOR,2001).
Pada skala regional, Taconi (2003) mengatakan bahwa di Asia Tenggara keprihatinan mengenai dampak kebakaran hutan cukup signifikan, yang ditunjukkan dengan penandatanganan Perjanjian Lintas Batas Pencemaran Kabut oleh negara-negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada bulan Juni 2002 di Kuala Lumpur.
Disamping LAPAN, saat ini banyak stasiun bumi dibangun dan menyediakan informasi serupa (misalnya satelit NOAA). Namun dalam perjalanannya ternyata terdapat perbedaan-perbedaan antara informasi dari LAPAN dengan dari penyedia informasi lain. Perbedaan yang dimaksud terutama menyangkut jumlah dan kejadian hot spot. Atas dasar itulah, berdasarkan Surat Perintah Kepala Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jau(No.: SPRINT/45/VII/03/BJ) dibentuklah Tim Verifikasi dan Validasi Metode Pemantauan Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan (Hot Spot) dan Kekeringan
Ditinjau dari sektor kesehatan, strategi pengendalian dampak pencemaran udara akibat kebakaran hutan sebagaimana tertuang dalam Kepmen Kesehatan RI no. 289/MENKES/SK/III/2003, mencakup 3 (tiga) fase prosedur yaitu :
• Fase Pra Bencana
• Fase Bencana
• Fase Pasca Bencana Kebakaran Hutan.
Taconi, 2003 mengatakan bahwa belakangan ini kebakaran hutan semakin menarik perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi, khususnya setelah bencana El Nino (ENSO) 1997/98 yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia (FAO 2001; Rowell dan Moore 2001).
Kebakaran hutan yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998 merupakan bencana besar bagi lingkungan dan ekonomi. Sekitar 10 juta hektar hutan, semak belukar dan padang rumput terbakar, sebagian besar dibakar dengan sengaja. (Cifor,2001). Kebakaran hutan di Indonesia yang terjadi tahun 1997/1998 merupakan kebakaran yang terbesar dalam sejarah kebakaran hutan di dunia. Taconi, 2003 menyebutkan bahwa informasi tentang luas dan lokasi kebakaran hutan pada 1997/98 dikumpulkan dan perkiraan luas kawasan yang dilanda kebakaran hutan direvisi dari 9,7 juta hektar menjadi 11,7 juta hektar.
Syumanda, R., 2003 mendapatkan angka kerugian senilai 2 milyar lebih untuk sebuah kebakaran tidak lebih dari 10 hari. Angka ini diperoleh dari hitungan bahwa pada awal Juni ini kita sudah menemukan 2.406 titik api. Diasumsikan dengan resolusi paling tinggi, 1 titik hotspot mewakili luas 1.500 m2.
Syumanda, 2005 mengatakan bahwa untuk kebakaran hutan tahun 2005. maka propinsi Riau mengalami kebakaran terbesar dibanding dengan propinsi lainnya. Didasarkan pada data satelit NOAA-12 AVHRR and NOAA-16 AVHRR pada Agustus 2005, ditemukan i 3258 hotspots yang tersebar di hampir di seluruh Propinsi Riau kecuali Pekanbaru dan terindikasi terjadi di 100-an perusahaan kehutanan di Riau.
Dari hasil pemantauan WALHI dan beberapa ornop di Sumatera dan Kalimantan menunjukan bahwa sampai tanggal 18 Agustus 2005 di Sumatera terdapat 4482 titik panas yang tersebar hampir seluruh Sumatera kecuali Bengkulu. Titik Api terbanyak di Sumatera terdapat di perbatasan Sumatera Utara dan Riau dengan titik terbanyak terdapat di Propinsi Riau (Syumanda,2005) .
Hasil analisis data yang dilakukan WALHI dengan menggunakan data hotspot yang dikeluarkan LAPAN tertanggal 1 - 18 Agustus 2005 dan ditumpang tindihkan (overlay) dengan Peta Pelepasan Kawasan untuk Perkebunan, Peta Konsesi HPH dan HTI yang dikeluarkan Departemen Kehutanan, diketahui kebakaran terjadi di 65 konsesi HTI, di 100 konsesi perkebunan dan di 31 konsesi HPH. Dengan demikian, peristiwa kebakaran hutan pada bulan Agustus terjadi di 196 konsesi perusahaan kehutanan dan perkebunan (Syumanda, 2005).
E. Munculnya Kasus Kebakaran Hutan, Penyebab dan Kerugiannya
Kasus kebakaran hutan yang besar di Indonesia dimulai sejak 1980 an, ketika industri perkebunan mulai menggeliat dan mulai mempraktekkan budaya tebang, imas dan bakar, yang akhirnya menjadi ritme keseharian industri kehutanan dan perkebunan di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa kebakaran hutan adalah side efek dari kesalahan kebijakan dan pengelolaan hutan di Indonesia.
Salah satu penyebab deforestasi hutan adalah kasus kebakaran hutan, yang berdampak ganda disamping mempertinggi emisi CO2 ke atmosfer, juga mengurangi kemampuan hutan dalam perannya sebagai fungsi klimatologis atau rosot karbon. Dengan demikian secara global fungsi hutan terutama sebagai fungsi klimatologis (penyerap/ rosot karbon) dan fungsi ekologis (sebagai habitat biodiversitas) juga mengalami penurunan. Kedua fungsi hutan tersebut sangat erat kaitannya dengan kepentingan nasional maupun internasional.
Pada hutan rawa gambut yang terbakar, melepaskan jumlah karbon yang jauh lebih banyak daripada mangrove yang terbakar. Kontribusi kebakaran hutan dengan emisi CO2 pada GRK adalah sangat signifikan. Dampak peningkatan GRK ini adalah terjadinya pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim global yang pada akhirnya berdampak pada semua bentuk kehidupan di bumi.
Kebakaran hutan dan lahan merupakan fenomena yang sudah sering terjadi di berbagai tempat di Indonesia, terutama selama musim kering. Penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia bisa bermacam-macam. Namun selama ini sebagaimana sudah diketahui banyak pihak, penyebab utamanya adalah akibat aktivitas pembukaan lahan (land clearing) dengan menggunakan api (dibakar), baik secara tradisional (oleh masyarakat), konversi lahan HPHTI/Perkebunan sawit (swasta).
Sependapat dengan Hidayat dkk, 2003 bahwa meningkatnya frekuensi dan intensitas kebakaran hutan di Indonesia seperti Riau, Sumatera ataupun di Kalimantan merupakan salah satu akibat dari salah urus pengelolaan hutan sejak awal. Hutan-hutan tropis basah yang belum ditebang (belum terganggu) umumnya benar-benar tahan terhadap kebakaran dan hanya akan terbakar setelah periode kemarau yang berkepanjangan. Sebaliknya, hutan-hutan yang telah dibalak, mengalami degradasi, dan ditumbuhi semak belukar, jauh lebih rentan terhadap kebakaran.
Upaya menyalahkan perladangan tradisional gilir balik adalah sangat tidak beralasan. Hal ini dapat dipahami bahwa kegiatan tradisional tersebut telah lama diakukan oleh masyarakat tradisional dengan kearifan lokalnya tidak pernah terjadi kebakaran besar, mesikpun pada masa itu juga telah terjadi el Nino.
Dalam skala lokal kasus kebakaran hutan di Riau dan juga kebakaran hutan di Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya berpengaruh antara lain pada aspek ekonomi (PAD) dan aspek ekologis dan juga segala aspek kehidupan masyarakat terutama aspek sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat.
Perhitungan kerugian kebakaran hutan sangatlah besar, mencapai lebih dari 2 Milyar rupiah untuk kebakaran hutan tahun 1997/1998 pada delapan provinsi. Provinsi Riau tentunya menderita kerugian terbesar mengingat Riau mengalami kebakaran terbesar. Perhitungan tersebut belum memasukkan nilai Tegakan Kayu, Hasil Hutan Non Kayu, Sumber Genetika, Fungsi Rekreasi, Fungsi Ekologi, Keaneka-ragaman Hayati dan Perosot Emisi Karbon, yang bila dihitung akan melebihi angka tersebut. Jika perhitungan ini memasukkan luasan yang tidak lagi mengeluarkan panas sehingga tak terdeteksi sebagai hot spot tentu nilai yang terhitung akan jauh lebih besar lagi.
Pembakaran hutan dan lahan dibeberapa tempat juga dijadikan pilihan untuk menaikkan pH tanah. Di sebagian Kalimantan dan Sumatera misalnya, dengan pH berkisar antara 3 - 4 membuat komoditi perkebunan tidak cocok untuk tumbuh dikawasan tersebut. Dengan melakukan pembakaran, abu yang tersisa akan mampu menaikkan pH tanah menjadi 5 – 6 sehingga layak untuk ditanami. Dapat disimpulkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia dan faktor yang memicu meluasnya areal kebakaran adalah kegiatan perladangan oleh masyarakat yang sembrono, pembukaan HTI dan perkebunan (sektor swasta) serta konflik penguasaan wilayah hutan.
UU Kehutanan No 41 tahun 1999 kurang memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran. Sebagai contoh bahwa larangan membakar hutan yang terdapat dalam UU Kehutanan ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3 huruf d). Kita bisa membandingkan dengan negara Malaysia yang memberlakukan kebijakan tegas (tanpa kecuali) tentang larangan pembukaan lahan dengan cara bakar.
UU ini juga secara tegas memberikan denda sebesar 500.000 ringgit dan/ 5 tahun penjara baik bagi pemilik mapun penggarap lahan. Demikian halnya dengan PP No. 6/99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi dimana tidak ada satupun referensinya yang menyinggung masalah pencegahan kebakaran hutan dalam konteks pengusahaan hutan. Bahkan UU No 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bersama UU No. 41/99 juga tidak memberikan mandat secara spesifik sama sekali untuk mengembangkan PP tentang kebakaran hutan.
Pemerintah kurang serius untuk meminimalisir apalagi menindak pelaku pembakaran. Sejak bencana kebakaran hutan yang terjadi di tahun 1997, berbagai studi dan kajian telah dilakukan. Bahkan sejumlah bantuan dari UNDP pada tahun 1998 yang telah menghasilkan Rancang Tindak Pengelolaan Bencana Kebakaran tidak dimanfaatkan. Fakultas Kehutanan IPB bersama Departemen Kehutanan dan ITTO juga menelurkan rancangan kebijakan yang menghasilkan rekomendasi kebijakan operasional, dan semua itu belum diadopsi menjadi kebijakan pemerintah.
F. Peraturan Kebakaran Hutan dan Sanksi Pembakar Hutan
Beberapa lembaga pemerintah memiliki berbagai kebijakan tentang pencegahan dan pengendalian kebakaran, tetapi kebijakan ini tidak terkoordinasi dengan baik dan umumnya tidak ditegakkan. Indonesia juga memiliki beragam undang-undang lingkungan dan peraturan lainnya yang menghukum pelaku pembakaran yang dilakukan secara sengaja, baik di tingkat nasional dan di tingkat propinsi. Namun demikian berbagai undang-undang ini jarang ditegakkan. Bahkan akibat kebakaran tahun 1997-1998, hampir tidak ada tindakan resmi yang diambi l untuk menghukum berbagai perusahaan yang terlibat dalam pembakaran, dan pada saat penulisan laporan, tidak ada hukuman resmi penting yang dijatuhkan.
Pada bulan Februari 2001, pemerintah mengeluarkan satu peraturan baru tentang kebakaran hutan (Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001), yang meliputi polusi dan kerusakan terhadap lingkungan yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan. Peraturan baru ini mengatur tanggung jawab masing-masing pemerintah pusat, propinsi dan daerah dalam menangani kebakaran, dalam usaha untuk menghentikan sikap sal ing menyalahkan di kalangan berbagai cabang lembaga pemerintah, yang menghambat pencegahan kebakaran lahan dan usaha untuk memadamkan api pada tahun-tahun sebelumya. Namun menjelang pertengahan tahun 2001 kebakaran hebat telah membakar sebagian besar Sumatera dan Kalimantan pada bulan Juli, menyebarkan kabut sampai jauh ke Malaysia dan Thailand bagian selatan. Kenyataan diatas menunjukkan bahwa prospek adanya suatu kebijakan yang efektif untuk menjawab masalah kebakaran yang muncul setiap tahun sampai saat ini masih suram.
G. Kelembagaan Kebakaran Hutan
Departemen Kehutanan merupakan satu-satunya lembaga pemerintah dengan tugas khusus untuk pencegahan dan pengendal ian kebakaran. Direktorat untuk menanggulangi kebakaran hutan berada di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Lembaga operasional kebakaran hutan dfisebut dengan Brigade Kebakaran Hutan, diberi nama Manggalka Agni/GALAAG. Secara kelembagaan Indonesia belum memiliki suatu organisasi pengelolaan kebakaran yang benar-benar profesional. Berbagai usaha pemadaman kebakaran dilakukan berdasarkan koordinasi di antara beberapa lembaga yang terkait. Berbagai lembaga yang terlibat dalam pengelolaan kebakaran tidak memi l iki mandat yang memadai, tingkat kemampuan dan peralatan yang tidak memadai untuk melakukan tugas-tugas mereka.
Beberapa kelemahan pokok dalam hal pemadaman kebakaran di Indonesia yang diidentifikasi oleh kajian Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/UNDP meliputi: tumpang tindihnya fungsi di antara berbagai lembaga yang berbeda; wewenang dan tanggung jawab kelembagaan yang tidak jelas; mandat yang tidak memadai; dan berbagai kemampuan kelembagaan lokal yang lemah. (FWI/GFW,2001).
H. Pengurangan Resiko Kebakaran Hutan
Pada dasarnya resiko kebakaran hutan dapat dikurangi. Hal ini mengacu pada praktek masyarakat tradisonal yang telah eksis ratusan tahun memanfaatkan api dalam usaha perladangan berpindah. Kearifan lokal masyarakat tradisional yang terbukti membuat selamat hutan selama ratusan tahun perlu digali dengan lebih dalam, diantaranya adalah bahwa dalam menggunakan api harus ditunggui dan jika ditinggalkan maka api harus benar-benar sudah padam. Kalangan rimbawan telah familiar dengan istilah manajemen api. Praktek Swalling dan Prescribe Burning telah lama dipraktekkan untuk mengelola hutan.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Kebakaran hutan dalam skala besar merupakan salah satu sebab degradasi hutan dan terbukti menimbulkan kerusakan dan kerugian baik pada aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial, dan dapat dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung bagi ekosistem kontribusinya terhadap peningkatan emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati, dan juga bagi kesehatan manusia.
Penyebab kebakaran hutan di Riau ataupun di tempat lain di Indonesia bersumber pada kebijakan pengelolaan hutan, lemahnya peraturan perundangan dan penegakan aturan yang ada, dan mekanisme sistem/kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan.
Bahwa api tidak bisa sepenuhnya dihilangkan dari ekosistem hutan, beberapa tipe vegetasi hutan merupakan klimaks api. Pengurangan resiko kebakaran hutan dapat ditempuh dengan mempertimbanglkan kearifan lokal dari masyarakat tradisional Rimbawan telah menggunakan api dalam praktek kehutanan yang dikenal dengan istilah manajemen api dalam bentuk Swalling dan Prescribe Burning.
B. Saran
Jagalah alam yang berada pada wilayah indonesia, karena dengan alam kita bisa menikmati keindahan hidup.