Jumat, 24 Februari 2012

PENGOLAHAN HUTAN

LATAR BELAKANG

Indonesia  mempunyai  luas  hutan  yang  menempati  urutan  ke  tiga dunia  setelah  Brasil  dan  Zaire.  Luas  hutan  Indonesia  kini  diperkirakan mencapai  120,35  juta  ha,  atau  63  persen  luas  daratan  (Herdiman,  2003). Hutan dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu merupakan salah satu  sumber daya alam yang penting bagi  Indonesia. Dengan  sumber yang cukup  tinggi  bagi  pendapatan  ekspor,  lapangan  kerja,  serta  sumber pendapatan masyarakat  lokal,  namun  demikian  saat  ini  semakin  terancam akibat sering terjadinya kebakaran hutan dari tahun ke tahun. Kebakaran  hutan merupakan  salah  satu  sebab  degradasi  hutan  dan terbukti menimbulkan  dampak merugikan di  bidang  kesehatan dan bidang-bidang  lainnya,   dan  pada berbagai    aspek baik ekonomi,  ekologi, maupun sosial. serta berskala lokal, nasional, internasional, regional, dan global.
Penulisan karya tulis  ini  bertujuan  untuk mencermati  kasus  kebakaran hutan  di  Indonesia  yang  terjadi  dari  tahun  1998-2005,  mencakup  tingkat kebakaran hutan yang terjadi, penyebab kebakaran hutan, dampak terhadap kesehatan  (berbagai  macam  penyakit  yang  ditimbulkan)  dan pengendalian/pengatasan  masalah  kebakaran  hutan  dalam  kontek  pembangunan kehutanan berkelanjutan di Indonesia.  Kasus kebakaran hutan yang besar di Indonesia dimulai sejak 1980 an, ketika industri perkebunan mulai menggeliat dan mulai mempraktekkan budaya tebang, imas dan bakar.
Kebakaran  hutan  dalam  skala  besar  merupakan  salah  satu  sebab degradasi  hutan  dan  terbukti  menimbulkan  kerusakan  dan  kerugian  baik pada  aspek  ekonomi,  ekologi, maupun  sosial,  dan  dapat  dianggap  sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung bagi  ekosistem  kontribusinya  terhadap  peningkatan  emisi  karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati, dan juga bagi kesehatan manusia.
Penyebab  kebakaran  hutan  di  Indonesia  bersumber  pada  kebijakan pengelolaan hutan, lemahnya peraturan perundangan dan penegakan aturan yang  ada,  dan  ekanisme  sistem/kelembagaan  yang  bertanggung  jawab terhadap kebakaran hutan. Bahwa  api  tidak  bisa  sepenuhnya  dihilangkan  dari  ekosistem  hutan, beberapa  tipe  vegetasi  hutan merupakan  klimaks  api.  Pengurangan  resiko kebakaran hutan dapat ditempuh dengan mempertimbanglkan kearifan lokal dari  masyarakat  tradisional. 

BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia  memiliki  kekayaan  alam  yang  berlimpah,  salah  satunya adalah dari kekayaan hutan yang merupakan sandaran hidup bagi sekitar 60 juta  rakyat  yang  bermukim  di  dan  sekitar  hutan.  Selain manfaat  ekonomi, hutan pun memiliki fungsi ekologis yang penting bagi kehidupan (Minangsari, dkk., 2005).
Pembangunan kehutanan di  Indonesia  telah bergeser dari paradigma management  forestry  menuju  social  forestry.  Pergeseran  paradigma pembangunan  kehutanan  yang  terjadi  di  Idonesia  tidak  telepas  dari kesepakatan  internasional dalam Konferensi Tingkat Tinggi Dunia mengenai pembangunan  berkelan-jutan  di  Johanesburg  tahun  2002  yang  meninjau kembali dari konferensi PBB mengenai  lingkungan dan Pembangunan di Rio De Janeiro 1992 (Ngadiono, 2004).
Dari 130 juta hektar luas tutupan hutan Indonesia, sekitar 72 % hutan asli Indonesia hilang dan dari sisa 28 % dari hutan asli tersebut ternyata 25 %  atau    sekitar  30  juta  hektar  dalam  kondisi  rusak  parah. Pembangunan hutan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan Hutan (GN-RHL) yang berjangka waktu  lima  tahun hanya mampu menyelamatkan 1,5  juta hektar, sementara itu kerusakan hutan dalam 5 tahun seluas 12 juta hektar sehingga 10,5 juta hektar  terabaikan.
Belakangan  ini  kebakaran  hutan  menjadi  perhatian  internasional sebagai  isu  lingkungan  dan  ekonomi,  khususnya  setelah  bencana  El  Nino  (ENSO) 1997/98  yang menghanguskan  lahan  hutan  seluas  25  juta  hektar  di  seluruh  dunia. Kebakaran  dianggap  sebagai  ancaman  potensial  bagi  pembangunan berkelanjutan  karena  efeknya  secara  langsung  pada  ekosistem,  kontribusi  emisi karbon  dan  dampaknya  bagi  keanekaragaman  hayati.  Pencemaran  kabut  asap merupakan masalah berulang bahkan selama  tahun-tahun ketika peristiwa ENSO di  Indonesia  dan  negara-negara  tetangganya  tidak  terjadi.  Selama  peristiwa ENSO  1997/98,  Indonesia  mengalami  kebakaran  hutan  yang  paling  hebat  di dunia. Masalah yang sama teruiang pada 2002. (Tacconi, 2003).
Hutan Indonesia memiliki berbagai species yang beraneka ragam, dan merupakan  hutan  tropis  terbesar  ketiga  di  dunia.  Namun  kini  telah mengalami  degradasi  yang  luar  biasa.  Laporan  FWI  pada  tahun  2002 menyatakan bahwa laju kerusakan hutan mencapai 1,7 juta hektar pertahun bahkan  pada  tahun  2003  Departemen  Kehutanan mengatakan  bahwa  laju kerusakan hutan mencapai 3,4  juta hektar per  tahun yang diakibatkan oleh berbagai sebab (Minangsari, dkk., 2005).
Pada tahun 1999 tercatat 101,79 juta ha (total 120,35 juta ha) hutan Indonesia dalam keadaan rusak. Laju deforestasi 1,6 juta ha /tahun (2000), 3.6 juta ha /tahun (2004) dan pada tahun 2005 laju deforestasi sebesar 3,8 juta ha /tahun (Kompas 5 Maret 2005). Dengan laju kerusakan seperti ini, berbagai pakar memprediksi bahwa hutan  tropis dataran  rendah di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan akan musnah  dalam  waktu  sepuluh  tahun.  Bahkan  Bank  dunia  memperkirakan bahwa  hutan  di  Indonesia  akan  hilang  dalam  10    15  tahun  ke  depan. Kehancuran  tersebut  diakibatkan  oleh  beberapa  faktor  antara  lain pengelolaan  yang  tidak  berkelanjutan,  illegal  logging  dan  kebakaran hutan (Minangsari, dkk., 2005). Kebakaran  hutan merupakan  salah  satu  sebab  degradasi  hutan  dan terbukti menimbulkan  dampak merugikan di  bidang  kesehatan dan bidang-bidang  lainnya,   dan  pada berbagai    aspek baik ekonomi,  ekologi, maupun sosial.
Penulisan  karya tulis  ini  bertujuan  untuk  kasus  kebakaran hutan di Propinsi Riau yang terjadi dari tahun 1998-2005, mencakup tingkat kebakaran hutan yang  terjadi, penyebab kebakaran hutan, mengungkapkan dampak  kebakaran  hutan  terhadap  kesehatan  (mencakup  berbagai macam penyakit  yang  ditimbulkannya)  dan  pengendalian/pengatasan  masalah kebakaran  hutan  dalam  kontek    pembangunan  kehutanan  berkelanjutan  di Indonesia.














BAB II
ISI

A.      PENGELOLAAN HUTAN
Sejak  tahun  1967  sampai  tahun  2000  kebijakan  pembangunan kehutanan tidak mampu memperbaiki kinerja pengelolaan hutan. Dalam dua puluh  tahun  terakhir,  hutan  alam  Indonesia  sebagai  modal  alam  (natural capital)  telah  kehilangan  lebih  dari  50 %  potensinya.  Hal  ini  terlihat  dari menurunnya  target produksi kayu bulat nasional dari 37  juta m3 per  tahun pada  awal  tahun  1980-an  menjadi  sebesar  22  juta  m3   pada  akhir  tahun 2000. (Minangsari, dkk., 2005)
Pentingnya  pengelolaan  hutan  berkelanjutan  telah  dinyatakan dengan jelas dalam PROPENAS  yang menyatakan bahwa sasaran di bidang ini adalah :
1.      Meningkatkan  pengelolaan  hutan  marginal  dan  mengembangkan  kehutanan sosial berbasis masyarakat,
2.      Meningkatkan  nilai  sesungguhnya  dari    hutan,  termasuk  hasil  hutan bukan kayu dan jasa-jasa kehutanan,
3.      Meningkatkan peran hutan lindung dan hutan konservasi dalam ekonomi lokal,
4.      Mengurangi pembalakan liar dan kebakaran hutan,
5.      Meningkatkan status  hutan dengan mengakui hak-hak masyarakat,
6.      Merestrukturisasi sistem  pengelolaan hutan,
7.      Meningkatkan investasi dan peluang bisnis di sektor kehutanan,
8.      Menyeimbangkan antara pemanfaatan dan konservasi,
9.      Mengurangi konflik atas lahan, dan

B.       Penyebab Kebakaran Hutan
Berdasarkan  lokasi  biomassa  dan  perilaku  api, Ebert,  1988 mengelompokkan  kebakaran  hutan  kedalam  4 (empat)  tipe,  yaitu:  Ground Fire,  Surface  Fire,  Crown  Fire, Mass  Fire,  yang masing-masing mempunyai skala dampak yang berbeda. Indonesia  adalah  salah  satu  negara  yang mempunyai  risiko  terkena dampak  EL-NINO  dan  La-Nina.  Dampak  dari  EL-NINO  menimbulkan perubahan  iklim,  antara  lain musim  panas  yang  berkepanjangan  sehingga menimbulkan  kekeringan,  dan  pada  akhirnya  menjadi  salah  satu  factor pencetus  kejadian  kebakaran  hutan. Menkes-RI,  2003 menyebutkan bahwa kebakaran hutan yang  terjadi di Indonesia merupakan kasus yang berulang dalam  beberapa  tahun  terakhir.  Tercatat  kebakaran  hutan  terbesar  di Indonesia  terjadi  pada  tahun  1997,  sekitar  3,5  juta  hektar  hutan  di Kalimantan  habis  terbakar.  Kebakaran  ini  disusul  dengan  kebakaran  besar tahun 1998.
Applegate,  G.  dalam  Cifor,  2001  mengatakan  bahwa  terdapat perbedaan  pemahaman  penyebab  yang  mendasari  terjadinya  kebakaran. Departemen  Kehutanan,  misalnya,  menyalahkan  para  peladang  berpindah sebagai  penyebab  kebakaran  di  Kalimantan.  Di  pihak  lain,  para  pecinta lingkungan  hidup  menyebutkan  bahwa  kebakaran-kebakaran  yang  terjadi merupakan  akibat  pengelolaan  hutan  yang  buruk.  Kemudian  pemerintah menyalahkan  “suku-suku  pengembara”  yang  melakukan  perladangan berpindah  atas  kebakaran  yang  terjadi.  Organisasi-organisasi  lingkungan hidup menyalahkan perusahaan-perusahaan kayu dan perkebunan. Penelitian  Cifor  2001, mengidentifikasi  empat  penyebab  langsung dari kebakaran, dan enam kekuatan yang mendasari terjadinya kebakaran. Dikatakan bahwa identifikasi ini bukan penggolongan yang bersih dan berdiri sendiri, banyak penyebab kebakaran yang saling terkait erat satu sama lain.
1.    Pembersihan lahan.
Api  merupakan  alat  yang  murah  dan  efektif  untuk  membersihkan lahan, dan disukai oleh usaha-usaha skala besar yang  ingin memberikan material kayu berkualitas rendah untuk dapat menanam tanaman industri seperti karet dan kelapa sawit. Areal perkebunan kelapa sawit meningkat dari 120.000 hektar di tahun 1989 menjadi hampir 3 juta hektar di tahun 1999.
2.    Kebakaran tak disengaja Kebakaran  yang  tak  disengaja  akibat  api  yang  berkobar  liar merupakan penyebab penting kedua.
3.    Api sebagai senjata
Pembakaran menjadi  faktor penting di pedesaan  Indonesia di  tahun-tahun  terakhir.  Para  petani  dan  masyarakat  lokal  yang  merasa diperlakukan  tidak  adil  dengan  hilangnya  tanah  mereka  yang  ‘diambil’ oleh  perusahaan-perusahaan  perkebunan  sekarang  menggunakan  api 10). Kekurang cukupan pencegahan kebakaran Seringkali,  bahkan  terlalu  sering  tidak  ada  lembaga  yang  kompeten untuk mencegah kebakaran secara tepat. (Cifor,2001).


C.      Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Kesehatan
Secara  umum  dampak  kebakaran  hutan  terhadap  lingkungan sangat  luas,  antara  lain  kerusakan  ekologi,  menurunnya  keanekaragaman sumber  daya  hayati  dan  ekosistemnya,  serta  penurunan  kualitas  udara. Dampak kebakaran menyangkut berbagai aspek, baik fisik maupun non fisik, langsung  maupun  tidak  langsung  pada  berbagai  bidang  maupun  sektor,  berskala  lokal,  nasional,  regional,  maupun  global.    Sebagian  dapat disebutkan  antara  lain  pada  aspek  kesehatan,  penurunan  kualitas lingkungan hidup  (kesuburan  lahan, biodiversitas, pencemaran udara, dst.), emisi GRK yang selanjutnya menimbulkan permanasan global dan perubahan iklim.
Syumanda,  2003  menyebutkan  adanya  4  (empat)  aspek  yang terindentifikasi  sebagai  dampak  yang  ditimbulkan  dari  kebakaran  hutan adalah:
·      Dampak Terhadap Sosial, Budaya dan Ekonomi
·      Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan
·      Dampak Terhadap Hubungan Antar negara
·      Dampak terhadap Perhubungan dan Pariwisata
Hidayat, dkk., 2003 mengatakan bahwa akibat yang ditimbulkan oleh kebakaran  hutan  dan  lahan  tidak  hanya  berskala  lokal, melainkan  berskala nasional  dan  bahkan  berskala  regional.  Asap  yang  timbul  dari  kebakaran hutan dan  lahan dapat mengganggu negara  tetangga kita seperti Singapura dan  Malaysia.  Untuk  itulah  berbagai  upaya  baik  pada  tingkat  nasional, regional maupun internasional sudah dilakukan guna menangatasi kebakaran hutan dan lahan.
Menteri Kesehatan RI, 2003 menyatakan bahwa   kebakaran hutan menimbulkan  polutan  udara  yang  dapat  menyebabkan  penyakit  dan membahayakan  kesehatan  manusia.  Berbagai  pencemar  udara  yang ditimbulkan  akibat  kebakaran  hutan,  misalnya  : debu  dengan  ukuran partikel  kecil  (PM10  &  PM2,5),  gas  SOx,  NOx,  COx,  dan  lain-lain  dapat menimbulkan  dampak  negatif  terhadap  kesehatan  manusia,  antara  lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain.
Selain  itu  juga dapat menimbulkan  gangguan  jarak pandang/ penglihatan, sehingga dapat menganggu semua bentuk kegiatan di luar rumah. Gumpalan  asap  yang  pedas  akibat  kebakaran  yang  melanda Indonesia pada tahun 1997/1998 meliputi wilayah Sumatra dan Kalimantan, juga  Singapura  dan  sebagian  dari  Malaysia  dan  Thailand.  Sekitar  75  juta orang terkena gangguan kesehatan yang disebabkan oleh asap. (Cifor,2001).
Gambut yang terbakar di Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir daripada yang dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu  membuat Indonesia menjadi salah satu pencemar lingkungan terburuk di dunia pada periode tersebut (Applegate, G. dalam CIFOR, 2001).
Dampak kebakaran hutan 1997/98 bagi ekosistem direvisi karena perubahan perhitungan luas kebakaran yang ditemukan. Taconi, 2003 menyebutkan bahwa kebakaran yang mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar 1,62-2,7 miliar dolar. Biaya akibat pencemaran kabut asap sekitar 674-799 juta dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan biayanya mencapai 2,8 miliar dolar.

D.      Strategi dan Pengendalian Kebakaran Hutan
Dalam skala nasional isyu kebakaran hutan mendapat perhatian dari pemerintah antara lain dengan adanya Brigade Kebakaran Hutan (Manggala Agni/GALAAG) dibawah kendali Ditjen PHKA-Dephut RI Pada  tahun  1998,  CIFOR,  the  International  Centre  for  Research  in Agroforestry (ICRAF) dan the United States Forest Service, dengan tambahan dana  dari  Uni  Eropa,  memulai  studi  multi  disiplin  yang  difokuskan  pada delapan  lokasi  rentan  kebakaran  di  Sumatra  dan  Kalimantan,  untuk menentukan  mengapa  kebakaran  bisa  terjadi,  siapa  yang  bertanggung jawab,  bagaimana  cara  api menyebar  dan  jenis  habitat mana  yang  paling berisiko (CIFOR,2001).
Pada skala regional, Taconi   (2003) mengatakan bahwa di   Asia Tenggara keprihatinan  mengenai  dampak  kebakaran  hutan  cukup  signifikan,  yang ditunjukkan  dengan  penandatanganan  Perjanjian  Lintas Batas  Pencemaran Kabut oleh negara-negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada bulan Juni 2002 di Kuala Lumpur.
Disamping  LAPAN,  saat  ini  banyak  stasiun  bumi  dibangun  dan menyediakan  informasi  serupa  (misalnya  satelit  NOAA).  Namun  dalam perjalanannya  ternyata terdapat perbedaan-perbedaan antara  informasi dari LAPAN  dengan  dari  penyedia  informasi  lain.  Perbedaan  yang  dimaksud terutama  menyangkut  jumlah  dan  kejadian  hot  spot.  Atas  dasar  itulah, berdasarkan  Surat  Perintah  Kepala  Pusat  Pengembangan  Pemanfaatan  dan Teknologi  Penginderaan  Jau(No.:  SPRINT/45/VII/03/BJ)  dibentuklah  Tim Verifikasi  dan  Validasi  Metode  Pemantauan  Mitigasi  Bencana  Kebakaran Hutan (Hot Spot) dan Kekeringan
Ditinjau dari sektor kesehatan, strategi pengendalian dampak pencemaran udara akibat kebakaran hutan sebagaimana tertuang dalam Kepmen Kesehatan RI no. 289/MENKES/SK/III/2003, mencakup 3 (tiga) fase prosedur yaitu :
       Fase Pra Bencana
       Fase Bencana
       Fase Pasca Bencana Kebakaran Hutan.
Taconi,  2003  mengatakan  bahwa  belakangan  ini  kebakaran  hutan semakin  menarik  perhatian  internasional  sebagai  isu  lingkungan  dan ekonomi,  khususnya  setelah  bencana  El  Nino  (ENSO)  1997/98  yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia (FAO 2001; Rowell dan Moore 2001).
Kebakaran  hutan  yang  melanda  Indonesia  pada  tahun  1997/1998 merupakan  bencana  besar  bagi  lingkungan  dan  ekonomi.  Sekitar  10  juta hektar  hutan,  semak  belukar  dan  padang  rumput  terbakar,  sebagian  besar dibakar dengan sengaja. (Cifor,2001). Kebakaran hutan di  Indonesia yang  terjadi  tahun 1997/1998 merupakan kebakaran yang terbesar dalam sejarah kebakaran hutan di dunia. Taconi, 2003 menyebutkan  bahwa  informasi  tentang  luas  dan  lokasi  kebakaran  hutan  pada 1997/98 dikumpulkan dan perkiraan luas kawasan yang dilanda kebakaran hutan direvisi dari 9,7 juta hektar menjadi 11,7 juta hektar.
Syumanda,  R.,  2003  mendapatkan  angka  kerugian  senilai  2  milyar lebih  untuk  sebuah  kebakaran  tidak  lebih  dari  10  hari.  Angka  ini  diperoleh dari  hitungan  bahwa  pada  awal  Juni  ini  kita  sudah menemukan  2.406  titik api. Diasumsikan dengan  resolusi paling  tinggi, 1 titik hotspot mewakili  luas 1.500 m2.

Syumanda,  2005   mengatakan  bahwa  untuk   kebakaran hutan  tahun 2005.  maka  propinsi  Riau  mengalami  kebakaran  terbesar  dibanding  dengan propinsi lainnya. Didasarkan pada data satelit NOAA-12 AVHRR and NOAA-16 AVHRR  pada  Agustus  2005,    ditemukan  i  3258  hotspots  yang  tersebar  di hampir di  seluruh Propinsi Riau kecuali Pekanbaru dan  terindikasi  terjadi di 100-an  perusahaan kehutanan di Riau.
Dari hasil pemantauan WALHI dan beberapa ornop di Sumatera dan Kalimantan menunjukan bahwa sampai tanggal 18 Agustus 2005 di Sumatera terdapat  4482  titik  panas  yang  tersebar  hampir  seluruh  Sumatera  kecuali Bengkulu.  Titik Api terbanyak di Sumatera terdapat di perbatasan Sumatera Utara  dan  Riau  dengan  titik  terbanyak  terdapat  di  Propinsi  Riau (Syumanda,2005) .
Hasil analisis data yang dilakukan WALHI dengan menggunakan data hotspot  yang  dikeluarkan  LAPAN  tertanggal  1  -  18  Agustus  2005  dan ditumpang  tindihkan  (overlay)  dengan   Peta  Pelepasan  Kawasan  untuk Perkebunan,  Peta  Konsesi  HPH  dan  HTI  yang  dikeluarkan  Departemen Kehutanan,  diketahui  kebakaran  terjadi  di  65  konsesi  HTI,   di  100  konsesi perkebunan dan di 31 konsesi HPH. Dengan demikian, peristiwa kebakaran hutan pada bulan Agustus terjadi di 196 konsesi perusahaan kehutanan dan perkebunan (Syumanda, 2005).

E.       Munculnya Kasus Kebakaran Hutan, Penyebab dan Kerugiannya
Kasus  kebakaran  hutan  yang  besar  di  Indonesia  dimulai  sejak  1980 an, ketika  industri perkebunan mulai menggeliat dan mulai mempraktekkan budaya  tebang,  imas  dan  bakar,  yang  akhirnya  menjadi  ritme  keseharian industri  kehutanan  dan  perkebunan  di  Indonesia.  Dapat  dikatakan  bahwa kebakaran hutan adalah side efek dari kesalahan kebijakan dan pengelolaan hutan di Indonesia.
Salah satu penyebab deforestasi hutan adalah kasus kebakaran hutan, yang  berdampak  ganda  disamping  mempertinggi  emisi  CO2  ke  atmosfer, juga  mengurangi  kemampuan  hutan  dalam  perannya  sebagai  fungsi klimatologis atau rosot karbon. Dengan demikian secara global  fungsi hutan terutama sebagai fungsi klimatologis  (penyerap/  rosot  karbon)  dan  fungsi  ekologis  (sebagai  habitat biodiversitas)  juga  mengalami  penurunan.  Kedua  fungsi  hutan  tersebut sangat erat kaitannya dengan kepentingan nasional maupun internasional.
Pada  hutan  rawa  gambut  yang  terbakar,  melepaskan  jumlah  karbon yang  jauh  lebih  banyak  daripada  mangrove  yang  terbakar.  Kontribusi kebakaran  hutan  dengan  emisi  CO2  pada  GRK  adalah  sangat  signifikan. Dampak  peningkatan  GRK  ini  adalah  terjadinya  pemanasan  global  yang menyebabkan  perubahan  iklim  global  yang  pada  akhirnya berdampak pada semua bentuk kehidupan di bumi.
Kebakaran hutan dan  lahan merupakan  fenomena yang sudah sering terjadi  di  berbagai  tempat  di  Indonesia,  terutama  selama  musim  kering. Penyebab  terjadinya  kebakaran  hutan  dan  lahan  di  Indonesia  bisa bermacam-macam. Namun  selama  ini  sebagaimana  sudah diketahui banyak pihak,  penyebab  utamanya  adalah  akibat  aktivitas  pembukaan  lahan  (land clearing)  dengan menggunakan  api  (dibakar),  baik  secara  tradisional  (oleh masyarakat), konversi lahan HPHTI/Perkebunan sawit (swasta).
Sependapat  dengan  Hidayat  dkk,  2003  bahwa  meningkatnya frekuensi  dan  intensitas  kebakaran  hutan  di  Indonesia  seperti  Riau, Sumatera  ataupun  di  Kalimantan merupakan  salah  satu  akibat  dari  salah urus pengelolaan hutan sejak awal. Hutan-hutan tropis basah yang belum ditebang  (belum  terganggu)  umumnya  benar-benar  tahan  terhadap kebakaran  dan  hanya  akan  terbakar  setelah  periode  kemarau  yang berkepanjangan.  Sebaliknya,  hutan-hutan  yang  telah  dibalak, mengalami degradasi, dan ditumbuhi  semak belukar,  jauh  lebih  rentan terhadap kebakaran.
Upaya menyalahkan perladangan  tradisional gilir balik  adalah  sangat tidak beralasan. Hal  ini dapat dipahami bahwa kegiatan  tradisional  tersebut telah  lama  diakukan  oleh  masyarakat  tradisional  dengan  kearifan lokalnya  tidak  pernah  terjadi  kebakaran  besar,  mesikpun  pada  masa  itu juga telah terjadi el Nino.
Dalam skala lokal kasus kebakaran hutan di Riau dan juga kebakaran hutan di Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya berpengaruh antara lain pada aspek ekonomi (PAD) dan aspek ekologis dan juga segala aspek kehidupan masyarakat terutama aspek sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat.
Perhitungan  kerugian  kebakaran  hutan  sangatlah  besar,  mencapai lebih  dari  2  Milyar  rupiah  untuk  kebakaran  hutan  tahun  1997/1998  pada delapan  provinsi.  Provinsi  Riau  tentunya  menderita  kerugian  terbesar mengingat Riau mengalami kebakaran terbesar. Perhitungan tersebut belum memasukkan nilai Tegakan Kayu, Hasil Hutan Non Kayu, Sumber Genetika, Fungsi Rekreasi, Fungsi Ekologi, Keaneka-ragaman Hayati dan Perosot Emisi Karbon, yang bila dihitung akan melebihi angka tersebut. Jika perhitungan ini memasukkan  luasan  yang  tidak  lagi  mengeluarkan  panas  sehingga  tak terdeteksi  sebagai hot spot tentu nilai yang terhitung akan jauh lebih besar lagi.
Pembakaran  hutan  dan  lahan  dibeberapa  tempat  juga    dijadikan pilihan  untuk  menaikkan  pH  tanah.  Di  sebagian  Kalimantan  dan Sumatera   misalnya,  dengan  pH  berkisar  antara  3  -  4 membuat  komoditi perkebunan  tidak  cocok  untuk  tumbuh  dikawasan  tersebut.  Dengan melakukan pembakaran, abu yang tersisa akan  mampu menaikkan pH tanah menjadi 5 – 6 sehingga layak untuk ditanami. Dapat  disimpulkan  bahwa  penyebab  utama  kebakaran  hutan  adalah faktor manusia dan  faktor yang memicu meluasnya areal kebakaran adalah kegiatan perladangan oleh masyarakat yang sembrono, pembukaan HTI dan perkebunan (sektor swasta) serta konflik  penguasaan wilayah hutan.
UU Kehutanan No 41 tahun 1999 kurang  memberikan perhatian yang memadai  bagi  upaya  penanggulangan  kebakaran.  Sebagai  contoh  bahwa larangan  membakar  hutan  yang  terdapat  dalam  UU  Kehutanan  ternyata dapat  dimentahkan  untuk  tujuan-tujuan    khusus  sepanjang mendapat  izin dari  pejabat  yang  berwenang  (pasal  50  ayat  3  huruf  d).  Kita  bisa membandingkan  dengan  negara  Malaysia  yang  memberlakukan  kebijakan tegas (tanpa kecuali) tentang larangan pembukaan lahan dengan cara bakar.
UU  ini  juga secara  tegas memberikan denda sebesar 500.000 ringgit dan/ 5 tahun penjara baik bagi pemilik mapun penggarap lahan. Demikian halnya dengan PP No. 6/99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan  Hasil  Hutan  pada  Hutan  Produksi  dimana  tidak  ada  satupun referensinya  yang  menyinggung  masalah  pencegahan  kebakaran  hutan dalam  konteks  pengusahaan  hutan.  Bahkan  UU  No  23/97  tentang Pengelolaan  Lingkungan  Hidup,  bersama  UU  No.  41/99  juga  tidak memberikan mandat  secara spesifik sama sekali untuk mengembangkan PP tentang kebakaran hutan.
Pemerintah  kurang  serius  untuk  meminimalisir  apalagi  menindak pelaku  pembakaran.  Sejak  bencana  kebakaran  hutan  yang  terjadi  di  tahun 1997,  berbagai  studi  dan  kajian  telah  dilakukan. Bahkan  sejumlah  bantuan dari  UNDP  pada  tahun  1998  yang  telah  menghasilkan  Rancang  Tindak Pengelolaan  Bencana  Kebakaran  tidak  dimanfaatkan.  Fakultas    Kehutanan IPB  bersama  Departemen  Kehutanan  dan  ITTO  juga  menelurkan rancangan kebijakan yang menghasilkan rekomendasi kebijakan operasional, dan semua itu  belum diadopsi menjadi kebijakan pemerintah.
F.       Peraturan Kebakaran Hutan dan Sanksi Pembakar Hutan
Beberapa  lembaga  pemerintah memiliki  berbagai  kebijakan  tentang pencegahan  dan  pengendalian  kebakaran,  tetapi  kebijakan  ini  tidak terkoordinasi dengan baik dan umumnya tidak ditegakkan.  Indonesia  juga  memiliki  beragam  undang-undang  lingkungan  dan peraturan  lainnya yang menghukum pelaku pembakaran yang dilakukan secara  sengaja,  baik di  tingkat  nasional  dan  di  tingkat  propinsi.  Namun demikian  berbagai  undang-undang  ini  jarang  ditegakkan.  Bahkan  akibat kebakaran  tahun  1997-1998,  hampir  tidak  ada  tindakan  resmi  yang diambi l  untuk  menghukum  berbagai  perusahaan  yang  terlibat  dalam pembakaran, dan pada saat penulisan laporan, tidak ada hukuman resmi penting yang dijatuhkan.
Pada  bulan  Februari  2001,  pemerintah  mengeluarkan  satu peraturan  baru  tentang  kebakaran hutan  (Peraturan Pemerintah No. 4 tahun  2001),  yang  meliputi  polusi  dan  kerusakan  terhadap  lingkungan yang  disebabkan  oleh  kebakaran  hutan  dan  lahan. Peraturan  baru  ini mengatur  tanggung  jawab masing-masing pemerintah pusat, propinsi dan  daerah  dalam  menangani  kebakaran,  dalam  usaha  untuk menghentikan  sikap  sal ing menyalahkan  di  kalangan  berbagai  cabang lembaga pemerintah, yang menghambat pencegahan kebakaran  lahan dan usaha  untuk  memadamkan  api  pada  tahun-tahun  sebelumya.  Namun  menjelang  pertengahan  tahun  2001  kebakaran  hebat  telah  membakar sebagian  besar  Sumatera  dan  Kalimantan  pada  bulan  Juli, menyebarkan kabut sampai jauh ke Malaysia dan Thailand bagian selatan.  Kenyataan  diatas  menunjukkan  bahwa  prospek  adanya  suatu kebijakan yang efektif untuk menjawab masalah kebakaran yang muncul setiap tahun sampai saat ini masih suram.

G.      Kelembagaan Kebakaran Hutan
Departemen Kehutanan merupakan satu-satunya  lembaga pemerintah dengan tugas khusus untuk pencegahan dan pengendal ian  kebakaran. Direktorat  untuk  menanggulangi  kebakaran  hutan  berada  di  bawah Direktorat  Jenderal  Perlindungan  Hutan  dan  Konservasi  Alam  (PHKA).  Lembaga  operasional  kebakaran  hutan  dfisebut  dengan  Brigade  Kebakaran Hutan, diberi nama Manggalka Agni/GALAAG. Secara  kelembagaan  Indonesia  belum  memiliki  suatu  organisasi pengelolaan  kebakaran  yang  benar-benar  profesional. Berbagai  usaha   pemadaman kebakaran      dilakukan  berdasarkan  koordinasi  di antara  beberapa  lembaga yang  terkait. Berbagai  lembaga  yang  terlibat dalam pengelolaan kebakaran  tidak memi l iki mandat  yang memadai, tingkat  kemampuan  dan  peralatan  yang  tidak  memadai  untuk melakukan tugas-tugas mereka.
Beberapa kelemahan pokok dalam hal pemadaman kebakaran di Indonesia  yang  diidentifikasi  oleh  kajian  Kantor  Menteri  Negara Lingkungan  Hidup/UNDP  meliputi:  tumpang  tindihnya  fungsi  di  antara berbagai  lembaga  yang  berbeda;  wewenang  dan  tanggung  jawab kelembagaan  yang  tidak  jelas; mandat  yang  tidak memadai;  dan  berbagai kemampuan kelembagaan lokal yang lemah. (FWI/GFW,2001).

H.      Pengurangan Resiko Kebakaran Hutan
Pada  dasarnya  resiko  kebakaran  hutan  dapat  dikurangi.  Hal  ini mengacu pada praktek masyarakat tradisonal yang telah eksis ratusan tahun memanfaatkan  api  dalam  usaha  perladangan  berpindah.  Kearifan  lokal masyarakat tradisional yang terbukti membuat selamat hutan selama ratusan tahun  perlu  digali  dengan  lebih  dalam,  diantaranya  adalah  bahwa  dalam menggunakan api harus ditunggui dan  jika ditinggalkan maka api harus benar-benar sudah padam. Kalangan  rimbawan  telah  familiar  dengan  istilah  manajemen  api. Praktek  Swalling  dan  Prescribe  Burning  telah  lama  dipraktekkan  untuk mengelola hutan.












BAB III
KESIMPULAN
A.      Kesimpulan
Kebakaran  hutan  dalam  skala  besar  merupakan  salah  satu  sebab degradasi  hutan  dan  terbukti  menimbulkan  kerusakan  dan  kerugian  baik pada  aspek  ekonomi,  ekologi, maupun  sosial,  dan  dapat  dianggap  sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung bagi  ekosistem  kontribusinya  terhadap  peningkatan  emisi  karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati, dan juga bagi kesehatan manusia.
Penyebab  kebakaran  hutan  di  Riau  ataupun  di  tempat  lain  di Indonesia  bersumber  pada  kebijakan  pengelolaan  hutan,  lemahnya peraturan  perundangan  dan  penegakan  aturan  yang  ada,  dan   mekanisme sistem/kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan.
Bahwa  api  tidak  bisa  sepenuhnya  dihilangkan  dari  ekosistem  hutan, beberapa  tipe  vegetasi  hutan merupakan  klimaks  api.  Pengurangan  resiko kebakaran hutan dapat ditempuh dengan mempertimbanglkan kearifan lokal dari masyarakat tradisional Rimbawan telah menggunakan api dalam praktek kehutanan  yang  dikenal  dengan  istilah  manajemen  api  dalam  bentuk Swalling dan Prescribe Burning.
B.       Saran
Jagalah alam yang berada pada wilayah indonesia, karena dengan alam kita bisa menikmati keindahan hidup.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More